TIDAK MUNGKIN MELETAKKAN TNI SEBAGAI PERBANTUAN KONTRATERORISME DI BAWAH UU5/2018

Jakarta – Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (Bais TNI) Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto menyatakan pro kontra pelibatan TNI dalam kontraterorisme tidak akan dapat dituntaskan melalui sebuah perpres.

Ponto menyebut “UU34/2004 yang bersifat hukum humaniter sudah ditegaskan bahwa kontraterorisme adalah salah satu tugas pokok TNI, namun dengan persyaratan tertentu,” ujarnya dalam webinar 7 November 2020 yang digelar MARAPI Consulting & Advisory bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjajaran

Terkait persyaratan, Ponto menjelaskan, penggunaan kekuatan TNI dilakukan jika: Teroris sudah menguasai sebuah wilayah secara efektif;
Teroris dapat melancarkan serangan sewaktu-waktu; Kelompok teroris memiliki hierarki kepemimpinan yang jelas; dan Hierarki kepemimpinan teroris memiliki kontrol efektif terhadap anggotanya.

Menurutnya, jika salah satu unsur di atas tidak terpenuhi maka aparat penegak hukum seperti polisi yang bergerak berdasarkan UU5/2018 yang bersifat hukum pidana.

Permasalahannya terjadi ketika Pasal 43 UU5/2018 menyebutkan bahwa pelibatan TNI dalam kontraterorisme diatur melalui sebuah perpres sehingga menempatkan operasi TNI yang bersifat militer dalam kerangka pidana. Ponto mengecam pasal tersebut yang menurutnya malah membuat UU5/2018 berbenturan dengan UU34/2004.

Ponto menjelaskan lebih lanjut bahwa UU34/2004 sudah sangat jelas mewajibkan setiap operasi militer selain perang, termasuk operasi militer kontraterorisme, hanya dapat dilaksanakan dengan keputusan politik berupa otorisasi dari presiden dengan persetujuan DPR.

“Otorisasi tersebut bersifat spesifik dan insidentil sehingga setiap operasi berbeda harus mendapatkan otorisasi tersendiri dengan batasan waktu yang jelas,” tegasnya.

Sebaliknya menurut Ponto, perpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme yang merupakan turunan UU5/2018 akan memberikan payung hukum untuk TNI melakukan terlibat kontraterorisme tanpa harus mendapatkan otorisasi khusus untuk setiap operasi yang dilaksanakan dan tanpa batasan waktu yang jelas.

“Jadi saya menyimpulkan bahwa untuk mengatur TNI cukup dengan UU 34/2004 saja karena jika diatur dalam UU5/2018 malah akan bermasalah dikarenakan rezim hukum yang berbeda antara hukum humaniter dan hukum pidana,” ungkapnya.

Oleh karna itu, Ponto mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap UU5/2018 terutama pasal 43 i.

Ahli hukum Universitas Padjajaran Dr Idris, SH, MA menyatakan bahwa belum ada definisi konkrit terorisme di tingkat internasional dikarenakan adanya perbedaan konteks dan persepsi mengenai apa itu terorisme di setiap negara.

“Aksi terorisme pun terus berubah-ubah metode dan jenisnya sehingga sulit untuk dibuatkan sebuah definisi konkrit yang dapat diterima oleh setiap negara,” urainya.

Dr Idris menambahkan bahwa tidak semua konvensi internasional mengenai terorisme harus diratifikasi karena harus terlebih dahulu mempertimbangkan apakah kapabilitas dan konteks nasional mengenai aksi terorisme tertentu dapat terlayani dengan baik melalui ratifikasi tersebut.

Sementara itu, Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjajaran Dr Yusa Djuyandi, SIP, MSI menegaskan bahwa memang pelibatan TNI dalam kontraterorisme diperlukan namun dengan syarat harus adanya kontrol demokrasi terhadap pelibatan itu.

Yusa menjelaskan harus ada mekanisme kontrol demokratis yang efektif melalui keputusan politik presiden yang melibatkan DPR serta peran aktif masyarakat sipil.

“Kontrol demokrasi diperlukan agar kebijakan kontraterorisme yang diambil oleh pemerintah tidak bersifat politis dan emosional sehingga terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan,” ucapnya.

Ditambahkan, “Pelibatan militer dalam kontraterorisme dapat dilakukan jika aksi terorisme sudah bukan lagi bersifat pidana namun sudah mengancam kedaulatan negara atau jika aktivitas terorisme bukan lagi bersifat domestik namun sudah berskala global,” pungkas Yusa.

Adapun Peneliti dan aktivis Marapi Beni Sukadis, MSos dalam webinar tersebut menyatakan bahwa dalam supremasi sipil ada pemisahan yang jelas antara otoritas politik dan otoritas pelaksana di mana militer harus tunduk pada supremasi sipil.

“Pejabat sipil terpilih adalah pengemban tanggungjawab membuat kebijakan dan keputusan mengenai keamanan,” sebutnya.

Menurutnya, amanat UU34/2004 menegaskan bahwa TNI menjalankan tugasnya sesuai kebijakan dan keputusan politik negara sehingga dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) keterlibatan TNI merupakan perbantuan dan bukan tugas pokok.

Beni tambahkan, Hukum yang berlaku juga menegaskan bahwa penanganan terorisme menggunakan pendekatan pidana dan bukan perang.

“Jadi fungsi penangkalan TNI dalam keterlibatannya dalam kontra terorisme adalah rancu dan berpotensi bertabrakan dengan upaya penegakan hukum oleh institusi-institusi penegakan hukum sipil yang ada,” tutupnya. (Tyas)