Jakarta, 24 Maret 2023, Suaramerdekanews.com, Tuberkulosis (TB) saat ini masih menjadi ancaman kesehatan dunia. Paska pandemi terjadi peningkatan kasus TB di Indonesia, sehingga pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus TB tertinggi di dunia setelah India. Indonesia telah berjuang dan berkomitmen untuk mencapai target dan strategi eliminasi TB nasional pada tahun 2030. Hal tersebut dilakukan melalui upaya menurunkan angka laju insiden TB menjadi 65 per 100.000 penduduk dan menurunkan angka kematian TB menjadi 6 per 100.000 penduduk. Kendati demikian masih banyak kendala yang ditemui di lapangan dalam upaya eliminasi TB. Sebagai salah satu penyakit katastropik yang memerlukan pembiayaan kesehatan tinggi, terdapat beberapa permasalahan yang dapat menghambat upaya eliminasi TB, yaitu: 1. Rendahnya case detection rate2. Angka keberhasilan pengobatan yang belum mencapai target 3. Meningkatnya kasus TB Resisten Obat (RO) 4. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas TB dengan penyulit/ komorbid 5. Rendahnya angka cakupan TPT pada ILTB Diperlukan upaya nyata baik dari anggota perhimpunan maupun masyarakat dan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut.
UPAYA NYATA PDPI DALAM PENANGGULANGAN TB Dengan semakin berkembangnya ilmu dan pengetahuan di bidang Penyakit Tuberkulosis, PDPI berkomitmen terus memberikan pelayanan Tuberkulosis paripurna dengan terus mematangkan public privat mix dalam rangka peningkatan penemuan dan pengobatan kasus di masyarakat. PDPI terus mengembangkan dan mendukung penanganan Tuberkulosis yang lebih baik dari tingkat pusat dan perifer, pengembangan dan pengadaan alat dan teknologi baru dalam mendeteksi Tuberkulosis. PDPI juga terus melakukan penelitian dalam rangka pengembangan vaksin , obat-obatan Tuberkulosis dan ILTB terbaru untuk dapat direkomendasikan kepada pemerintah guna mencapai target penurunan kasus 17% per tahun.
PDPI juga senantiasa bersinergi dengan kementerian kesehatan dalam pembuatan panduan nasional penanganan TB di Indonesia, berpartisipasi sebagai narasumber dalam pelatihan penanggulangan TB, serta memberikan masukan dan saran mengenai pemecahan masalah program. Sebagai upaya pemecahan masalah diatas tentu saja diperlukan komitmen dan kerjasama berbagai pihak baik dalam kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. 1. Rendahnya case detection rateUntuk meningkatkan case detection rate hal pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gejala TB melalui edukasi. Edukasi dapat diberikan melalui media sosial dan elektronik sebagai sarana edukasi terbaik saat ini. Hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk seluruh anggota perhimpunan.
Diharapkan melalui edukasi, masyarakat yang memiliki gejala lebih sadar untuk cepat datang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Langkah kedua yang dapat dilakukan yaitu dengan active case finding. Indonesia dengan berbagai ragam budaya bukan tidak mungkin masih takut memeriksakan diri dan didiagnosis TB akibat adanya stigma negatif masyarakat mengenai TBC. Disinilah peran active case finding yang dapat dilakukan oleh seluruh paguyuban/ pemuka agama/tokoh masyarakat/ komunitas/ kegiatan kesehatan yang ada di masyarakat.
Penemuan kasus secara aktif dapat dilakukan bekerjasama dengan Fasyankes tingkat pertama melalui kegiatan posyandu, poskesdes, program ketuk pintu, jemput bola, dan lain sebagainya. Disarankan juga mengikutsertakan dharmawanita, kader, tokoh agama, pemuka masyarakat, perkumpulan penyakit tertentu ( DM, ODHIV ,CKD, autoimun ) untuk membantu kegiatan investigasi kontak dan skrening Tuberkulosis. Pada kelompok risiko tinggi seperti penghuni LAPAS, ODHIV, penderita DM, serta penyakit imunocompromized lain dilakukan skrening TB dan ILTB berkala. Tentu saja hal tersebut memerlukan SDM terlatih terutama dalam skrining dan pencatatan/pelaporan.
Pelaksanaan kegiatan penanggulangan TB yang melibatkan masyarakat luas seperti pemberian penghargaan bagi desa dengan upaya penanggulangan TBC serta lomba lomba kegiatan kreatif penanggulangan TBC mungkin dapat memberi sumbangsih pemikiran yang besar bagi program. Pembuatan sistem seperti peduli lindungi COVID -19 untuk penyakit TB yang memungkinkan untuk self reporting dan memberikan petunjuk alur pengobatan sangat baik membantu program penemuan kasus TB.
Untuk skrening dan deteksi dini diharapkan juga ketersediaan alat diagnostik dan kemudahan aksesibilitas oleh masyarakat dapat ditingkatkan melalui penyediaan minimal foto thoraks, mesin TCM, dan Uji tuberkulin di seluruh puskesmas dan rumah sakit pemerintah di Indonesia, sekali lagi relokasi dana adalah pendukung terbesar seluruh program. 2. Angka keberhasilan pengobatan belum mencapai target Keberhasilan pengobatan harus ditunjang oleh pengobatan yang tepat dari tenaga kesehatan, kualitas dan ketersediaan obat sesuai standar, kepatuhan pasien, tatalaksana efek samping obat yang memadai, dan adanya Video observed therapy ( VOT ) serta sistem pendukung lainnya ( terutama keluarga ) untuk keberhasilan pengobatan pasien.
Untuk meningkatkan kompetensi, tenaga kesehatan memerlukan pelatihan berkesinambungan agar dapat memberikan pengobatan sesuai standar. Sangat disarankan setiap nakes sebaiknya memiliki sertifikat pelatihan TB sebagai salah satu prasyarat penerbitan SIP dan program TB menjadi salah satu program nasional sebagai kriteria akreditasi RS. Pemerintah sebaiknya menyediakan obat dengan kualitas baik dan ketersediaan cukup sehingga dapat meminimalisir terjadinya putus obat. Pengadaan logistik harus disiapkan dengan perhitungan matang. Kepatuhan pasien dapat ditingkatkan dengan memberikan penjelasan yang memadai serta hubungan dokter pasien yang baik, jangan lupa untuk meluangkan waktu melakukan edukasi menyeluruh.
Faktor lain yang juga besar pengaruhnya terhadap kepatuhan pengobatan adalah tata laksana efek samping obat. Banyak pasien yang mengalami efek samping obat tidak mau lagi meneruskan pengobatannya, Kembali lagi, ilmu edukasi, pendampingan, pengawasan ketat dan tatalaksana efek samping obat harus dimiliki oleh anggota perhimpunan. Adanya VOT dan sistem pendukung sangat penting terutama keluarga dekat untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Untuk menurunkan angka loss to follow up dan meningkatkan kesembuhan, WHO sedang mengupayakan memperpendek lama pengobatan baik untuk TB Sensitif Obat ( SO ) maupun TB RO. Penggunaan regimen jangka pendek 2 HPMZ/ 2 HPM untuk TB SO dan BPal untuk TB RO akan segera direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI.
3. Meningkatnya kasus TB RO Kasus TB RO saat ini semakin meningkat.
Berdasarkan data dari Global Tuberculosis Report 2020, terjadi peningkatan TB resisten obat sebesar 10% pada tahun 2019 dibandingkan 2018.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya berbagai tantangan pengobatan TB RO, yaitu pengobatan yang lama, angka keberhasilan pengobatan rendah, serta mortalitas tinggi. Saat ini mungkin satu satunya cara yang paling efektif untuk menanggulangi peningkatan kasus TB RO adalah dengan menemukan dan mengobati penderita sampai sembuh serta upaya pencegahan penularan penyakit. Seperti kita ketahui bahwa penularan banyak terjadi di daerah padat penduduk dan ventilasi buruk, tidak jarang juga pada transportasi publik, sekolah, lapas, dan lain sebagainya.
Edukasi pencegahan penularan kepada masyarakat merupakan hal yang utama. Disamping itu pemerintah juga sebaiknya membuat regulasi khusus mengenai pencegahan penularan infeksi pernapasan di fasilitas publik yang padat dengan ventilasi buruk. Sebagai upaya kuratif, diagnosis segera dan pengobatan tepat untuk penderita TB RO sangat diperlukan . Akses pemeriksaan TCM, LPA lini 1,2 dan kultur DST MTB perlu diperluas keberadaannya untuk menunjang diagnosis. Tidak hanya itu, akses manyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan juga harus dipermudah. Kolaborasi dengan BPJS, adanya puskesmas keliling, pemberian enabler bagi penderita, peningkatan jumlah faskes satelit pelayanan TB RO juga dapat menjadi solusi. 4. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas TB dengan penyulit/ komorbid TB dengan penyulit/komorbid sering merupakan kasus yang sulit dan memerlukan perawatan lama serta angka mortalitas yang tinggi.
Edukasi juga menjadi hal yang penting melalui pemberian informasi kepada masyarakat bahwa TB yang berat, TB yang terlambat diobati, serta TB komplikasi dan yang paling penting memiliki Tim Ahli Klinis ( TAK ) dan melakukan MDT kasus sulit berkala, serta memiliki ICU isolasi/khusus kasus infeksi. 5. Rumah sakit pusat : Rumah sakit pusat diharapkan memiliki fasilitas dan SDM terlengkap dalam pelayanan TB. Beberapa RS pusat sudah memiliki pelayanan intervensi lanjut di bidang infeksi seperti bronkoskopi, torakoskopi, VATS, bedah thorax, ECMO, dan lain sebagainya. RS pusat diharapkan memberi bimbingan/pendampingan kepada RSUD atau RS provinsi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan TB. RS pusat juga dapat menjadi narasumber pelatihan terkait TB seperti TB DOTS/TB RO/ILTB/ pelatihan intervensi untuk penyakit TB dan menjadi pusat rujukan kasus sulit. Seluruh kegiatan tersebut harus didukung oleh komitmen dari pemerintah, stakeholder/pihak terkait, perhimpunan organisasi profesi, individu pelaksana, sistem kesehatan yang baik, dan financing model yang memadai. Penanggulangan kasus TB di Indonesia adalah kewajiban dan tanggung jawab kita bersama. Akhir kata semoga perayaan World Tuberculosis Day pada 24 maret 2023 dengan tema YESS…WE CAN END TB! merupakan suatu kemajuan yang baik dalam penanggulangan TB di Indonesia pasca pandemi, sehingga dapat mencapai eliminasi TB tahun 2030.
Comments are closed for this post.