Yogyakarta – Presiden Joko Widodo tengah menyiapkan peraturan presiden (perpres) yang akan memberi ruang lebih bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menanggulangi terorisme. Perpres ini dinilai bakal memantik masalah baru karena bakal menguatkan spirit suatu kelompok.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Penanganan Terorisme oleh TNI: Risiko dan Tantangan?’ gelaran lembaga Infest Yogyakarta, Jumat (30/10/2020).
Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi yakin terorisme dapat diatasi polisi tanpa perlu melibatkan TNI. “Isu terorisme belum jadi isu pertahanan, tapi problem keamanan. Polisi masih punya kemampuan memadai untuk atasi terorisme,” katanya.
Ia menjelaskan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengatur secara tegas bahwa TNI memiliki tugas utama menjaga kedaulatan negara. “UU itu spiritnya coba memberi demarkasi tegas antara urusan TNI dan polisi. Polisi dalam keamanan domestik dan penegakan hukum, TNI konteksnya kedaulatan negara,” tutur Eko.
Memang TNI dimungkinkan mengambil tindakan non-perang, termasuk dalam mengatasi terorisme. Namun, kata Eko, keterlibatan TNI itu ketika aparat negara memiliki keterbatasan dalam situasi tertentu. “Sejauh ini saya percaya polisi jika menggunakan sumber daya secara optimal sangat mudah mengatasi terorisme,” kata dia.
Ia mengakui, saat ini terdapat problem untuk mengenali suatu gerakan sebelum aksi teroris terjadi. Namun masalah itu bukan berarti diatasi dengan mengerahkan tentara. “Yang belum manifes ini perlu upaya non-hukum, misalnya kemungkinan menambah kinerja intelijen,” kata dia.
Eko mendorong pemerintah melibatkan aktor dan pihak di bidang non-keamanan dan non-pertahanan. Langkah ini ditempuh saat kelompok yang berpotensi melakukan teror masih dalam tahap mengembangkan ideologi dan saat aksi teror belum muncul.
“Ini agar perpres tidak memunculkan problem baru. Banyak pelaku (terorisme) memiliki relasi hstoris dengan pendahulunya secara ideologi dan keluarga. Ada problem penegakan hukum yang tidak fair dan potensi pelanggaran HAM di masa dahulu yang kini memunculkan spirit baru,” tuturnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2011-2014 Ansyaad Mbai menyebut pelibatan TNI mengatasi terorisme menjadi kekuatan pamungkas. “TNI striking force, penggunannya last resort, apabila aparat penegakan hukum kewalahan dan di luar kemampuan,” kata dia.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme sudah dipratikkan di Operasi Tinombala di Poso dan saat terjadi pembajakan kapal Sinar Kudus di Somalia. “Jadi penggunaan militer itu bukan baru dan sudah diatur di Perpres Nomor 46 Tahun 2010 tentang BNPT,” kata dia.
Ansyaad mencontohkan penggunaan tentara untuk mengatasi terorisme ditempuh Inggris dan Perancis termasuk dalam kasus penusukan di Gereja Nice. “Presiden juga memerintahkan militer. Tak menangani langsung, tapi mengamankan supaya tak meluas dan menenangkan masyarakat,” kata dia.
Ia mengatakan keterlibatan militer memang harus akuntabel, dalam koridor hukum, dan mengacu prinsip-prinsip universal. “Militer boleh pada sekuen dan situasi mana,” kata dia.
Ansyaad menyebut pelanggaran penanganan harus dituntaskan di peradilan umum, bukan peradilan militer, untuk menghindari impunitas. “Masalahnya TNI belum memberlakukan akuntabilitas di peradilan umum, masih di peradilan militer. Harus ada revisi UU yang memayungi,” katanya.
Ia menjelaskan, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sudah mengatur pelibatan TNI mengatasi terorisme harus melalui keputusan politik presiden dan DPR. “Harus berdasarkan otorisasi pejabat negara yang dipilih oleh rakyat. Supremasi sipilnya di situ,” ujarnya.
Ansyaad menyebut pelibatan tentara juga menjadi upaya memupus pandangan bahwa teroris hanya bermusuhan dengan polisi. “Mereka harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan negara. Simbolnya TNI dan polisi,” katanya. (Tyas)
Comments are closed for this post.