Jakarta. Suaramerdekanews.com, 26 November 2025- Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun terpanas kedua dalam sejarah umat manusia. Bagi banyak orang, itu hanya statistik semata. Bagi Icheiko Ramadhanty, ancaman tersebut nyata. Ia melihatnya di berbagai desa pesisir negeri ini. Laut naik, cuaca berubah cepat, dan hasil tangkapan ikan oleh nelayan menurun. Banyak keluarga nelayan juga kehilangan pendapatan karena pola melaut tidak lagi bisa diprediksi.

“Contohnya di Ambon. Saya melihat sendiri bagaimana perempuan pesisir di sana harus kehilangan penghasilan dari menjual olahan ikan, karena laut makin tercemar dan hasil tangkapan makin sedikit,” kata Icheiko.

Bulan ini, langkah Icheiko membawanya jauh dari garis pantai menuju forum dunia. Ia terbang ke Brasil untuk menghadiri forum iklim terbesar di dunia, COP30, sebagai satu dari 16 pemimpin muda Selatan Global yang hadir di Belém, hingga 21 November 2025 pekan lalu.

Keterlibatannya di GAWIREA (Girls and Women in Renewable Energy Academy), dalam membantu masyarakat pesisir memahami energi terbarukan dan ketahanan iklim, mengantarnya terpilih oleh Life of Pachamama yang bermarkas di Kolombia.

Icheiko mewakili suara perempuan, masyarakat pesisir, dan orang muda Indonesia dalam mendorong keadilan iklim. Sebagai Communications and Community Development Manager di GAWIREA, Icheiko meyakini bahwa solusi iklim harus berakar dari mereka yang paling dekat dengan dampaknya.

“Dalam COP30, saya ingin lebih bersuara dalam menekan negara-negara kaya dan pencemar utama menunaikan tanggung jawabnya, yaitu menghadirkan pendanaan iklim yang memadai, tanpa menambah utang dan tanpa syarat, serta memastikan Loss and Damage Fund benar-benar terisi dan bisa diakses oleh yang membutuhkan,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa COP30 berlangsung di tengah situasi global yang semakin terpolarisasi, namun juga penuh peluang. “Di satu sisi, kita menyaksikan ketidakpastian politik dan komitmen yang goyah, bahkan dari negara maju. Di sisi lain, transisi menuju energi terbarukan tumbuh pesat dan menjadi harapan nyata bagi masa depan. Namun, semua ini tidak akan berarti tanpa keadilan iklim.”

Menggerakkan Energi dari Komunitas

Melalui GAWIREA, Icheiko ikut membangun pemahaman tentang energi terbarukan di komunitas yang paling terdampak krisis iklim. Bersama timnya, ia menjalankan program Net Zero Heroes, kurikulum pembelajaran energi bersih yang sudah menjangkau lebih dari 1.000 orang muda di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik. Sekitar 80 persen peserta adalah perempuan.

“Kami ingin orang muda tahu apa itu krisis iklim dan paham langkah praktis untuk menanganinya,” kata Icheiko.

Program ini mengajarkan dasar transisi energi, keadilan iklim, dan cara mengembangkan proyek kecil di komunitas masing-masing. Beberapa alumni kini menjalankan inisiatif seperti pengolahan sampah rumah tangga, konservasi mangrove, dan pemanfaatan panel surya di daerah terpencil.

Bagi Icheiko, memperjuangkan energi bersih berarti memberi ruang bagi masyarakat untuk bertahan. Ia melihat ketimpangan besar dalam akses terhadap listrik dan teknologi di berbagai wilayah Indonesia. “Banyak keluarga di daerah pesisir atau pulau kecil masih bergantung pada genset. Sementara kota besar membicarakan mobil listrik. Kesenjangan ini harus diubah,” ujarnya. Pengalaman di lapangan ini membentuk pandangannya tentang pentingnya demokratisasi kebijakan iklim.