Suaramerdekanews.com, 15 Oktober 2025, Jakarta – Pintu masuk radikalisme sering kali bukan dari senjata, tetapi dari ruang yang paling sunyi: pikiran yang kehilangan arah dan keluarga yang kehilangan kendali.

Itulah yang disadari Arif Fathoni, eks napiter sekaligus mantan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah bertahun-tahun terjerumus dalam ideologi kebencian.

Kini, setelah menjalani proses panjang deradikalisasi dan reintegrasi sosial, Arif menjadikan pendidikan dan keluarganya sebagai benteng utama agar arus ekstremisme tidak kembali menerobos kehidupan generasi muda.

“Harus pendidikan,” kata Arif dalam sebuah forum. Tanpa pendidikan yang memadai, menurutnya pertahanan seseorang akan mudah dijebol, terutama di era arus banjir informasi.