Hong Kong – Suaramerdekanews.com, 14 Juli 2025, Manulife Investment Management hari ini merilis market outlook untuk paruh kedua 2025, menyediakan perspektif mendalam terkait kondisi makroekonomi dan investasi di Asia maupun global. Di tengah ketidakpastian kebijakan, pertumbuhan yang tidak merata, dan pola perdagangan yang masih terus berubah, peluang struktural Asia dalam hal inovasi, lokalisasi, dan transformasi digital masih tetap memberikan peluang jangka panjang yang menarik bagi para investor.

Seiring meredanya tekanan inflasi global, kondisi makroekonomi masih dibayangi oleh peningkatan ketidakpastian kebijakan dan arah pertumbuhan yang tidak merata. Di AS, meningkatnya perselisihan perdagangan dan pergeseran prioritas fiskal telah membebani sektor industri, pasar tenaga kerja, dan konsumsi, sehingga mendorong bank sentral AS untuk mempertahankan bias dovish dan pasar memperkirakan suku bunga dapat turun ke level 3,5% pada pertengahan tahun 2026.

Luke Browne, Global Head of Multi-Asset Solutions, Senior Portfolio Manager, Head of Multi-Asset Solutions, Asia, mengatakan: “Kondisi makro di tahun 2025 telah berkembang secara dramatis hanya dalam tempo enam bulan. Apa yang dimulai sebagai langkah pelonggaran yang tersinkronisasi kini terfragmentasi karena keputusan pemerintah, terutama di AS, memicu efek berantai di perdagangan global dan pasar modal. Dalam pandangan kami, pembelokan arah kebijakan The Fed masih tetap utuh, namun kecepatan dan skala penurunan suku bunga akan bergantung pada daya tahan pertumbuhan AS, tren pertumbuhan lapangan kerja, dan perkembangan kondisi perdagangan.”

Browne menambahkan: “Di belahan dunia lain, pelemahan sektor manufaktur Eropa terlihat sudah mencapai level terendahnya, namun pertumbuhannya masih tersendat, dan Bank Sentral Eropa sudah menuju fase akhir siklus pelonggaran. Sebaliknya, Jepang memasuki siklus investasi baru didorong oleh inflasi upah dan reformasi struktural, meskipun memasuki paruh kedua siklus tersebut terlihat mulai melambat. Pasar negara/kawasan berkembang mengalami divergensi – perekonomian yang fundamental domestiknya kuat dan eksposur perdagangan AS terbatas tetap tangguh, sementara perekonomian yang memiliki ketergantungan ekspor tinggi tetap rentan terhadap siklus tarif dan volatilitas arus dana. Selain itu, perdebatan seputar plafon utang AS, dampaknya terhadap imbal hasil obligasi pemerintah AS serta pergeseran yang berkembang ke hard assets menambah peluang lebih lanjut.”

Pendapatan tetap Asia: Investor global dan Asia menunjukkan minat yang meningkat terhadap pasar pendapatan tetap Asia

Murray Collis, Head of Asia ex-Japan Fixed Income, mengungkapkan bahwa momentum positif pendapatan tetap Asia terus berlanjut sepanjang tahun ini, dengan obligasi lokal Asia yang berkinerja lebih baik karena pelemahan dolar AS, sementara instrumen utang Asia lainnya juga tetap menunjukkan ketahanan.

Collis mengatakan: “Bank sentral AS memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Fed Funds Rate di 4,5% pada paruh pertama tahun 2025. The Fed akan terus bersandar pada data dalam mengambil keputusan di masa depan dan tidak bereaksi secara impulsif terhadap kebijakan perdagangan yang masih dalam tahap negosiasi, dan cenderung mengamati dampaknya terhadap pertumbuhan dan inflasi saat kebijakan tersebut mulai berlaku. Pasar memperkirakan The Fed akan melanjutkan pemotongan suku bunga di semester kedua dan hal ini akan menopang pasar pendapatan tetap secara keseluruhan. Di pasar domestik Asia, secara selektif kami melihat adanya ruang penurunan suku bunga untuk memberikan dorongan pertumbuhan ekonomi akibat dampak tarif, seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina, dan penurunan ini akan mendorong kinerja obligasi domestik di negara-negara tersebut. Sementara itu, instrumen utang Asia dalam mata uang USD akan terus menarik bagi investor karena imbal hasil yang atraktif dan durasi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.”

Collis melanjutkan: “Pendapatan tetap Asia siap meraih momentum positif di paruh pertama 2025 untuk membukukan kinerja tahunan yang menarik bagi para investor. Dengan ketidakpastian seputar posisi fiskal AS dan dolar AS yang kalah unggul sepanjang tahun ini, kami melihat minat yang lebih besar dari investor global dan investor Asia untuk kembali ke kawasan ini demi peluang investasi dan diversifikasi.”

Saham Asia: Kekuatan Struktural di Tengah Gejolak Kebijakan

Terlepas dari volatilitas global saat ini, Charlie Dutton, Head of Emerging Market Equities, Co-Head, Senior Portfolio Manager, Emerging Markets Equity, tetap optimis terhadap prospek jangka panjang Asia, seraya menyebutkan adanya pendorong struktural yang kuat dan juga peluang-peluang dengan tingkat keyakinan tinggi di seluruh kawasan. Ia melihat adanya dorongan kuat tematik terkait AI, konsumsi, dan layanan kesehatan, di samping tren makro seperti disinflasi kawasan, sikap dovish bank sentral, dan mesin pertumbuhan yang terdiversifikasi di China, India, dan ASEAN.

Dutton mengatakan: “Di daratan utama China, fokus telah bergeser ke arah transformasi struktural. Ini mencakup percepatan AI lokal, peningkatan belanja fiskal hingga 4% dari PDB, dan perluasan hubungan perdagangan dengan ASEAN. Meskipun fokus judul berita lebih sering menyoroti ketegangan perdagangan, cerita sebenarnya terletak pada upaya China untuk mencapai swasembada teknologi, inovasi layanan kesehatan, dan konsumsi domestik. Sedangkan untuk wilayah Taiwan, peluangnya berkisar dari rantai pasokan server AI, peningkatan lanjutan telepon pintar generasi baru, hingga infrastruktur jaringan 800G. Meskipun risiko ekspor tetap menjadi perhatian, pasar ini terus menarik dana global, terutama dalam desain chip dan co-packaged optics (integrasi komponen optik dan elektronik).”

India terlihat menonjol karena demografinya yang mendukung dan eksekusi kebijakan yang efektif. “Pemotongan pajak individu meningkatkan konsumsi, dan dengan eksposur perdagangan yang terbatas – di mana ekspor ke AS hanya berkontribusi terhadap 2% PDB – India relatif terisolasi dari guncangan tarif,” jelas Dutton.

Dirinya juga menyoroti daya tarik ASEAN yang terus meningkat: “Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, dan Malaysia diuntungkan oleh inflasi yang lebih rendah, penurunan suku bunga, dan penataan ulang rantai pasokan. Dengan populasi yang muda, infrastruktur yang membaik, dan momentum reformasi, ASEAN menarik investasi asing dan mendorong permintaan domestik. Kami melihat potensi yang kuat pada perusahaan-perusahaan yang sejalan dengan peningkatan konsumsi, inklusi digital, dan integrasi regional.”