Jakarta, Suaramerdekanews.com, 16 Maret 2022, Perempuan dan anak-anak menjadi pihak paling lemah dan banyak
menjadi korban dalam krisis Palestina. Sudah lebih dari 74 tahun Zionis Israel melakukan
kezaliman terhadap rakyat Palestina, sebagian diantara target utamanya adalah perempuan
dan anak-anak.

Meski begitu, peran para perempuan Palestina memberikan andil besar dalam upaya mempertahankan Al-Aqsa. Para Murabitah (penjaga perempuan) dengan gigih ikut menjaga Al-Aqsa di garda terdepan. Tidak sedikit di antara mereka yang berulang kali ditangkap oleh tentara Zionis Israel. Salah satunya adalah Hanady Halawany yang sudah 25 kali keluar masuk penjara Israel.

Sebelumnya, organisasi pembela hak tahanan Palestina yang memantau kondisi warga Palestina di penjara-penjara Israel, Palestinian Prisoners Society (PPS), mengungkapkan 40 tahanan perempuan mengalami kekerasan, kondisi sulit, dan investigasi brutal di penjara Israel. Mereka mengalami penyiksaan psikologis dan perampasan kebutuhan dasar.

Sementara itu, banyak aktivis internasional yang terjun langsung untuk membantu memperjuangkan hak-hak warga Palestina. Rachel Corrie adalah salah satu contoh dari sekian banyak aktifis kemanusiaan dan perdamaian asal Amerika Serikat yang gigih membela Palestina hingga harus meregang nyawa di bawah buldoser Zionis Israel pada Maret 2003 silam. Corrie dikenal karena kecintaannya pada perdamaian dan membela hak hak Palestina.

Perjuangan mereka dalam mempertahankan Al-Aqsa patut diapresiasi dan terus didukung bersama. Upaya-upaya dukungan kepada para Murabithah harus terus digaungkan hingga kaum Muslimin mendapat kemenangan dan Al-Aqsa bebas dari kezaliman dan penjajahan.

Untuk itu Lembaga Kemanusiaan yang konsen pada isu Palestina, Aqsa Working Group (AWG), akan menggelar Konferensi Perempuan Internasional untuk Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina sebagai salah satu wujud dukungan kepada perjuangan rakyat Palestina dan kaum Muslimin dalam membebaskan Al-Aqsa dan kemerdekaannya. Konferensi ini mengambil tema “Bergerak Berjamaah Membela Perempuan dan Anak-anak Palestina”.

Tujuan dari konferensi ini adalah membangkitkan kesadaran kaum Perempuan terhadap pentingnya peran mereka dalam perjuangan pembebasan Al-Aqsa dan Palestina, menggalang persatuan umat, baik dalam skala nasional maupun internasional, sekaligus menyuarakan pemenuhan hak dan pembebasan tahanan perempuan dan anak-anak Palestina, yang masih berada dalam penjara-penjara Zionis Israel.

Pelaksanaan konferesi ini pada Kamis, 13 Syaban 1443/ 17 Maret 2022 di Hotel Sofyan Cut Meutia, Cikini, Jakarta Pusat, menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri, juga mengundang puluhan lembaga kemanusiaan yang mendukung perjuangan Palestina. Adapun para pembicara antara lain:

1. KH. Yakhsyallah Mansur (pembina AWG)
2. Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri RI)
3. H.E. Zuhair Al-Shun (Duta Besar Palestina untuk Indonesia): keynote speaker
4. Abdul Muta’ali (Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)
5. Khadijah Peggy Melati Sukma (Da’iyah, Aktivis Kemanusiaan, Penulis)
6. Siti Aminah (Aktivis Aqsa Working Group)
7. Samr Subaih (mantan tahanan perempuan Palestina)
8. Dr. Haifa Abdur Rauf Redwan (Pengajar di Darul Qur’an wa Sunnah Gaza, Palestina)
9. Zainat Ali Uwaydah (Murabithah)
10. Hanady Halawani (Murabithah)

Pernyataan Sikap
Terkait pelaksanaan International Women’s Conference for the Liberation of Al Aqsa and Palestine (IWCLA) yang akan diselenggarakan oleh Aqsa Working Group (AWG) pada 17 Maret 2022, saya selaku Praktisi Media yang juga Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia menyampaikan sikap sebagai berikut:

1. Menyambut baik konferensi tersebut, terutama sebagai bentuk solidaritas terhadap para
tahanan perempuan Palestina yang saat ini berada dalam penyiksaan di penjara-penjara Zionis Israel.

2. Mengajak masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia untuk melakukan kampanye solidaritas terhadap para tahanan perempuan Palestina melalui semua platform
media sosial.

3. Mengecam keras tindakan brutal yang dilakukan Zionis Israel terhadap para aktivis perempuan di penjara-penjara Israel, dan kekerasan yang dilakukan Zionis Israel itu merupakan pelanggaran terhadap asas-asas kemanusiaan, terlebih dilakukan terhadap perempuan yang seharusnya dilindungi.

4. Menilai bahwa Lembaga Kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG) selama ini berperan menjalankan “second track diplomacy” (diplomasi jalur kedua) bagi pembebasan Masjid Al-Aqsa dan kemerdekaan Palestina. AWG selama ini mempunyai hubungan dan kerjasama yang baik dengan Kementerian Luar Negeri RI dan Kedubes Palestina di Jakarta serta dengan berbagai elemen masyarakat di Palestina. AWG selalu tampil terdepan dalam membela kepentingan Masjid Al-Aqsa dan rakyat Palestina ketika isu-isu terkait Palestina mengedepan. Di sisi lain, diplomasi tradisional atau yang dikenal dengan istilah “first track diplomacy” (diplomasi jalur pertama) yang hanya melibatkan pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi tentu tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara atau bahkan terhadap dunia internasional.

5. Fakta menunjukkan, dalam kerangka “second track diplomacy” itu pula sejatinya tokoh tokoh AWG turut berjuang bersama Jaringan Pesantren Al-Fatah dan Lembaga Medis dan Kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Comittee) dalam mendirikan Rumah Sakit Indonesia di Gaza Palestina. Dalam kaitan ini, tokoh Palestina di Jalur Gaza Ismail Haniya pernah berujar bahwa keberadaan Rumah Sakit Indonesia di Gaza adalah hadiah dari Indonesia untuk Palestina. Hadiah lainnya adalah hadirnya Kantor Berita Islam MINA yang juga didirikan oleh Pimpinan Jaringan Pesantren Al-Fatah dan MER-C Indonesia. AWG didirikan oleh komponen umat yang hadir dalam Al-Aqsha International Conference yang diselenggarakan di Wisma ANTARA Jakarta pada 20 Sya’ban 1429H/21 Agustus 2008.